Pages

Kamis, 02 September 2010

:: MENUMBUHKAN CINTA SEJATI ::

Salafus sufi berpendapat bahwa cinta sejati hanyalah cinta pada sang Khaliq. Cinta kepada makhluk bukanlah cinta sejati. Karna “kekasih” yang memberikan cintanya secara tulus tanpa mengharap imbalan apapun hanyalah Allah. Maka jika seseorang mapau menempatkan cintanya secara hakiki dan sejati hanya kepada Allah, maka dengan mudah di bukakan mata batinnya.
Cinta sejati itu tidak butuh bersinggungan secara fisik. Cinta kepada Allah pun demikian. Meskipun tidak bersinggungan secara fisik, namun mata hati terbuka tajam untuk menatap “wajah”Nya.
Ibarat seseorang yang gila Laila karna sangat cintanya. Ketika di tanya, “siapakah namamu?” dia justru menyebut, “namaku Laila” dan suatu hari di tanyakan, “bukankah gadis Laila telah mati?” di menjawab, “sesungguhnya Laila di dalam hatiku tidak pernah mati. Akulah Laila.” Suatu ketika dia lewat di depan rumah Laila. Lalu seseorang menyapa, “wahai orang gila,janganlah engkau melihat ke langit. Tetapi lihatlah pagar Laila, mungkin engkau bisa melihat dia!” namun orang yang sudah “gila” cinta itu menjawab, “aku telah cukup puas menengadah ke langit dan sebuah bintang yang bayangannya jatuh di atas rumah Laila.”
Di ceritakan dari Manshur al-Hallaj. Dimana, orang-orang telah menahannya selama delapan belas hari. Pada hari ke tujuh belas datanglah Asy-Subali ra. menjenguk ke tahanan. Asy-Subali berkata, “wahai Mansur, jelaskan padaku, apakah kecintaan itu?” Mansur al-Hallaj menjawab, “jangan kau bertanya padaku hari ini. Tetapi tunggulah besok pagi!”

Pada pagi harinya,orang-orang mengeluarkan al-Hallaj dari penjara dan menghamparkan alas dari kulit untuk membunuhnya. Pada saat itu lewatlah asy-Subali. Al-Hallaj memanggil-manggil seraya berkata, “hai Syubali, tanda awal kecintaan adalah kebakaran dan akhirnya adalah terbunuh.” Telah tertancap dalam hati al-Hallaj bahwa segala sesuatu selain Allah adalah batal (tidak ada dalam kenyataan) dan dia mengetahui bahwa hanya Allah yang haq, dia menjadi lupa dengan namanya sendiri pada saat tertancap nama Allah yang haq. Sehingga ketika ditanya siapakah dirinya? Maka dijawab, “aku adalah Tuhan Yang Haq”
Inilah cinta sejati. Karena seseorang sangat mencintai Yang Haq (Allah), sampai-sampai lupa terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana seorang pemuda yang tergila-gila dengan Laila, maka ia lupa terhadap dirinya sendiri. Semuanya tertuju dan untuk yang di cintai.
Sesungguhnya cinta hakiki (kebenaran cinta) terhadap Allah itu berada dalam tiga hal. Yaitu, seseorang yang cinta kepada Yang Haq,maka ia akan memilih firmanNya, dia akan memilih berkumpul dengan ‘kekasihnya’ itu daripada berkumpul dengan yang lain, dia memilih keridhaan ‘kekasihnya’ itu daripada keridhaan lain.
Isyqu (sangat rindu), dapat merusak segala macam hijab (pembatas, penutup), dan membuka semua rahasia. Artinya, membuat mata hati terbuka terhadap segala yang gaib. Sedangkan wujdu adalah kelemahan roh untuk memikul penguasaan cinta yang memuncak ketika adanya rasa nikmat dalam berdzikir, sehingga seandainya sebuah anggota badan dari sekian anggota-anggota dipotong dia tidak akan merasakan sakit dan tidak menyadarinya.
Dzun Nun al-Mishri pernah memasuki Masjidil Haram. Dia melihat seorang pemuda telanjang, terbuang dan terletak di bawah sebuah tiang karena sakit. Pemuda itu merintih pilu. Lalu Dzun Nun menghampiri dan memberi salam. “wahai anak muda, siapakah engkau?” Dia menjawab, “Aku adalah pengembara yang sedang rindu.” Dzun Nun paham apa yang dikatakan pemuda itu. Maka Dzun Nun pun berkata, “Sesungguhnya akupun orang sepertimu.” Dia menangis.dzun Nun pun ikut menangis. Dia bertanya, “Apakah engkau juga menangis?” Dzun Nun pun menjawab, “Aku juga sepertimu.” Dia menangis lagidengan suara sangat keras seakan-akan histeris. Dan pada saat itu juga nyawanya keluar dari badannya. Ia telah mati.
Dzun Nun melepaskan sebagian pakaiannya untuk menutupi jasad pemuda itu. Lalu keluar masjid untuk mencari kain kafan. Ketika kembali, Dzun Nun tidak menemukan jasad pemuda tersebut. Dzun Nun bergumam, “Subhanallah.” Hati Dzun Nun yang peka dan tajam mendengarkan bisikan, “Wahai Dzun Nun sesungguhnya pengembara itu adalah orang yang dicari-cari oleh setan tetapi dia tidak dapat melihatnya. Dia juga dicari-cari malaikat Malik tetapi tidak juga ditemukannya. Dia juga dicari-cari malaikat Ridhwan tetapi dia tidak ditemukannya. Dzun Nun berkata dalam hati, “Ditempat yang disenanginya yaitu disisi Tuhan Yang Maha Berkuasa.” (Disebutkan dalam kitab Zahrur Riyadh).
Begitulah orang-orang yang mempunyai rasa cinta yang hakiki pada Tuhannya. Cinta mereka mampu menembus hijab antara dirinya dengan ‘Yang Dicintai’.
Tentang orang yang memiliki cinta hakiki, al Masyayikh berpendapat, yaitu sedikit bergaul dengan orang lain, banyak menyendiri, istiqomah dalam bertafakur, dan keadaan lahiriahnya diam. Dia tidak melihat jika dipandang, tidak menyahut jika dipanggil. Tidak paham jika diajak bicara, tidak bersedih hati jika terkena musibah. Ketika dia ditimpa kelaparan, dia tidak mengerti. Jika telanjang dia tidak menyadari telanjangnya. Dia selalu memandang Allah swt,dalam kesendiriannya, merasa tentram denganNya dan berbisik kepadaNya. Dan dia tidak akan ikut berebut dengan orang-orang ahli dunia da dalam hal dunia mereka.
Kecintaan kepada Allah seperti yang digambarkan diatas dapat menjadikan seseorang mampu membuka hijab keajaiban. Menjadikan seseorang mampu mempertajam mata hati dan indra keenamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar